Bukan Anak Nakal, Tapi Tipe Pembelajar Kinestetik!
Oleh Yeni Mulati (Mahasiswa Magister Psikologi UMS)
Seorang ibu muda tampak sangat malu dan marah ketika dalam sebuah pertemuan, anaknya tak kunjung diam. Dia berlari kesana kemari, naik ke atas sofa, loncat-loncat, ambil makanan, menumpahkan minuman dan sebagainya. Kesal sekali!
Sebenarnya, hal tersebut sudah sering terjadi di rumah. Namun, di pertemuan semacam itu, tatkala semua mata memandangnya, sebagian tampak menyalahkannya sebagai ibu yang tidak mampu mendidik anaknya, ibu muda itu menjadi kian jengah.
“Hardik saja, hukum!” bisik ibu di sampingnya. “Aku tuh, kalau punya anak kurang ajar seperti itu, sudah aku damprat dan aku kurung di kamar!”
Seperti mendapatkan ilham, ibu itu akhirnya bangkit, lalu menarik kasar lengan sang anak, dan membentaknya, “Kalau tidak mau diam, ibu pukul, lho!”
STOP, ah bu. Nyeri saya mendengar bentakan itu. Perkenankan saya bercerita tentang sebuah pengalaman yang saya alami. Suatu hari, di sebuah forum semi formal, Dr. Abdul Kharis Al-Mahsyar, M.Si, ketua Komisi I DPR RI sedang sibuk berbicara di depan forum. Ratusan peserta menyimak dengan seksama. Saat itu, terdengar suara gaduh anak-anak yang berlarian kesana-kemari. Rupanya beberapa peserta memang membawa anaknya pula. Ada satu yang tampak paling gaduh. Ibunya tampak malu, dan berkali-kali menarik tangannya untuk kembali ke tempat duduknya.
Tiba-tiba, Dr. Abdul Kharis menghentikan ceramahnya, lalu berkata sembari tersenyum. “Sudahlah, Bu, biarkan anak-anak itu. Saya ini di rumah juga biasa dengan anak-anak saya, malah lebih heboh dari anak-anak ini, dunia mereka memang begitu. Tenang saja, saya tidak pecah konsentrasi.”
Ucapan beliau, benar-benar terngiang di telinga saya. Ya, selama ini, kita mungkin terlalu terdoktrin tentang konsep “anak yang baik” itu seperti apa. Di TK-TK dan SD-SD Pulau Jawa, sejak kecil kita sering diafirmasi oleh para ibu guru dengan lagu semacam ini.
Siji loro telu astane sedeku (satu, dua, tiga, tangannya ditekuk)
Mirengake Pak Guru (mendengarkan Pak Guru)
Menowo didangu (Ketika diajar)
Papat nuli limo dik (Empat lalu lima, dik)
Lenggahe sing toto (Duduknya yang rapi)
Ojo pada sembrono mundhak ora bisa (Jangan sembrono, nanti tidak bisa)
Lagu tersebut tidak salah. Bagus sekali, malah. Saya juga termasuk orang yang cukup termotivasi dengan lagu tersebut. Begitu ingat lagu itu, saya selalu terkenang guru-guru saya dahulu yang sabar dan penuh kasih sayang.
Tetapi, pada kenyataannya, tak semua anak bisa bersikap demikian. Berdasarkan tipe belajarnya, ada beberapa jenis anak. Pertama, tipe auditory, tipe visual, tipe logika dan tipe kinestetik/tactual. Tipe auditory berarti dia belajar dari mendengar. Visual dari apa yang dia lihat. Logika dari bagaimana dia menggunakan logikanya, dan kinestetik adalah belajar dari menyentuh, aktif menggunakan gerakan.
Lebih lanjut, De Porter dan Hernacki (2003) , menjelaskan bahwa ciri-ciri anak dengan gaya belajar kinestetik antara lain adalah lebih senang praktek, berorientasi secara fisik dan senang bergerak, menyentuh untuk mencari perhatian, tidak dapat duduk diam, menyukai permainan yang menyibukkan, sulit untuk menulis, tidak ada masalah dengan keributan, menghafal dengan berjalan dan melihat dan senang diceritai dengan plot yang menarik.
Jika kita perhatikan, lagu siji loro telu tersebut di atas, hanya cocok untuk anak-anak tipe auditory. Maka, ketika ada doktrin bahwa anak yang baik adalah yang duduk tegak kedua tangan terlipat di atas meja, mendengarkan dengan seksama, duduk rapi, dan seterusnya, yang kemudian sukses adalah tipe auditory, dan tipe lain, khususnya kinestetik akan gagal. Karena anak-anak kinestetik tak bisa diam dan selalu “usil”, maka dia akan dijuluki sebagai anak nakal.
Hello, Mom! Anak anda tipe kinestetik? Jangan cap sebagai anak nakal. Dia bergerak, aktif, ribut, sebenarnya dalam rangka belajar, lho. Jika putera Anda bertipe ini, saya anjurkan lakukan hal-hal ini.
1. Bawa dia ke alam bebas, dan biarkan bebas bereksplorasi, tentu tetap dalam pengawasan
2. Biarkan rumah kita lapang, bebas dari pernak-pernik yang membahayakan anak, misal keramik-keramik.
3. Buatlah semacam mainan yang bisa disentuh, namun juga sekaligus memberi pengetahuan. Misal, kamarnya dipasangi bola-bola, dan di dalam bola tersebut ada gambar-gambar pengetahuan.
4. Kecuali sangat terpaksa, hindari mengajak dia ke forum resmi yang menuntut dia duduk diam tanpa bisa bereksplorasi. Jika memang terpaksa, bawalah aneka mainan yang menyibukkan tapi tidak membuat dia ribut, misal puzzle, bongkar pasang mobil-mobilan, kalau bisa yang masih baru atau yang belum membosankannya.
5. Jika ada sekolah alam, sebaiknya masukkan kesana.
Sebagai orang tua, jangan ikut-ikutan mengecap dia sebagai anak nakal. Terimalah kondisi si anak, meski jika kita memiliki anak kinestetik, kita memang harus sangat sabar. Bisa jadi, dengan cara belajar tersebut, otak jeniusnya akan terasah, dan suatu saat dia akan menjadi anak sukses yang membanggakan orang tuanya.
Posting Komentar untuk "Bukan Anak Nakal, Tapi Tipe Pembelajar Kinestetik!"