Ibu Hamil dan Menyusui Saat Ramadhan: Berpuasa, Mengqadha atau Membayar Fidyah?
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh ibu hamil dan menyusui saat bulan Ramadan tiba adalah: apakah harus tetap berpuasa? Lalu, bagaimana dengan keadaan bayinya? Dan jika ternyata dia tidak berpuasa, apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus meng-qadha (mengganti puasa di lain hari), atau membayar fidyah?
Menurut dr. Ahmad Supriyanto dari RSU PKU Muhammadiyah Surakarta, sebenarnya, asal ibu hamil atau menyusui dalam keadaan sehat, dan mengasup gizi sesuai dengan kebutuhan, tak ada masalah secara medis seorang ibu hamil/menyusui berpuasa. Malah dengan puasa, keadaan mental-spiritual akan menjadi lebih baik.
Namun, pada prinsipnya, agama tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Di dalam Al-Quran sendiri disebutkan, “…Dan bagi yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184). Termasuk dalam golongan orang yang berat menjalankan puasa, menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah adalah ibu hamil dan menyusui.
Jika ternyata ibu hamil/menyusui merasa berat saat melakukan puasa, misal lemas, gemetar, teler, tidak kuat dan sebagainya, maka dia dibolehkan untuk tidak berpuasa. Apakah nanti dia harus meng-qadha (mengganti di lain waktu) atau membayar fidyah, terdapat beberapa pendapat.
Pendapat Pertama, Membayar Fidyah tanpa Qadha
Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Abbas, dan merupakan ketentuan yang paling ringan. Dalam pendapat ini, ibu hamil/ menyusui, cukup membayar fidyah saja. Sebagaimana dikutip dari tulisan Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah, suatu ketika, Ibnu Abbas ditanya oleh ibu hamil, apakah dia wajib berpuasa, maka jawab Ibnu Abbas adalah “Engkau sama dengan orang yang sulit berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tak usah mengqadha (mengganti puasa).” (Sanadnya dishahihkan oleh Daruqutni).
Pendapat Kedua: Mengqadha, Tanpa Membayar Fidyah
Pendapat ini menyatakan bahwa ibu hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa, dan menggantinya di lain waktu, dan tak perlu membayar fidyah. Pendapat kedua ini, sebagaimana dilansir dari tulisan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah, berasal dari Imam Hanafi, Abu Ubaid dan Abu Tsaur.
Pendapat Ketiga: Antara Mengqadha dan Membayar Fidyah
Pendapat ini berasal dari Imam Ahmad dan Imam Syafi’i, sehingga banyak dianut ulama-ulama Indonesia. Ada dua hal yang esensial dalam pendapat ketiga ini.
PERTAMA, jika seorang ibu hamil tidak berpuasa karena khawatir terhadap keselamatan janin dalam kandungannya—misal berat bayi rendah, pertumbuhan bayi kurang baik, padahal si ibu sebenarnya sehat dan cukup kuat, maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah.
KEDUA, jika seorang ibu hamil tidak berpuasa karena khawatir dengan kondisinya sendiri—misal ibu hamil sakit, lemas, atau gemetar; atau keduanya, yakni khawatir dengan dirinya dan juga janin, maka cukup meng-qadha di lain hari.
Adapun besarnya fidyah, menurut kalangan Maliki dan Syafi’i, jumlahnya 1 mud (kira-kira 600 gram) makanan pokok yang berlaku di suatu daerah untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Sebaiknya makanan diberikan lengkap dengan lauk-pauknya. Menurut Ustadz Muinudinillah, fidyah itu sesuai dengan apa yang kita makan sehari-hari, misalnya sekali makan kita mengeluarkan Rp 25.000,- berarti sejumlah itulah yang kita keluarkan dalam sehari.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Penulis: Yeni Mulati
Posting Komentar untuk "Ibu Hamil dan Menyusui Saat Ramadhan: Berpuasa, Mengqadha atau Membayar Fidyah?"